Teori Semiotik Berdasarkan Para Ahli
July 23, 2020
Add Comment
C.S Peirce
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda ialah sesuatu yang berbentuk fisik yang sanggup ditangkap oleh panca indera insan dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda berdasarkan Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari korelasi sebab-akibat). Sedangkan contoh tanda ini disebut objek.Objek atau contoh tanda ialah konteks sosial yang menjadi rujukan dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.
Interpretant atau pengguna tanda ialah konsep pemikiran dari orang yang memakai tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang ihwal objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam proses semiosis ialah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang ketika berkomunikasi.
Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon perempuan muda bagus dan menggairahkan.
Ferdinand De Saussure
Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua kepingan (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan membuktikan (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik sanggup dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang membuktikan dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure ialah kekerabatan antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi ialah sistem tanda yang mempelajari kekerabatan elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan hukum atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial dibutuhkan untuk sanggup memaknai tanda tersebut.
Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang memakai tanda untuk mengirim makna ihwal objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur komplemen dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, berdasarkan Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak sanggup dipisahkan, menyerupai dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006).
Roland Barthes
Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes menyebarkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi ialah tingkat pertandaan yang menjelaskan korelasi penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi ialah tingkat pertandaan yang menjelaskan korelasi penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak niscaya (Yusita Kusumarini,2006).
Roland Barthes ialah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat memilih makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja memberikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, meliputi denotasi (makna bahu-membahu sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” berdasarkan Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi sesudah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda gres yang kemudian mempunyai petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang mempunyai makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” lantaran dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi perkiraan umum yang menempel pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi menjelma denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” karenanya dianggap sebagai sebuah Mitos.
Baudrillard
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana bencana yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu sepertinya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).
Sebuah iklan menampilkan seorang laki-laki lemah yang kemudian menenggak sebutir pil multivitamin, seketika laki-laki tersebut mempunyai energi yang luar biasa, bisa mengerek sebuah truk, tentu hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya lantaran sebutir pil seseorang sanggup berubah besar lengan berkuasa luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin memberikan pesan produk sebagai multivitamin yang memberi asupan energi komplemen untuk beraktivitas sehari-hari semoga tidak gampang capek. Namun, dongeng iklan dibuat ‘luar biasa’ semoga konsumen percaya. Inilah tipuan realitas atau hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat iklan. Barangkali kita masih teringat dengan pengalaman masa kecil (entah kini masih ada atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat atraksi seorang penjual obat yang memamerkan hiburan sulap kemudian mendemokan khasiat obat di hadapan penonton? Padahal sesungguhnya atraksi tersebut telah ‘direkayasa’ semoga terlihat benar-benar manjur di hadapan penonton dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya.
J. Derrida
Derrida populer dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, berdasarkan Derrida, ialah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman gejala (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti gejala secara murni, lantaran semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, ialah perjuangan membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.
Sebuah gereja renta dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi masa pertengahan yang dikenal sebagai masa kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa anutan yang dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, contohnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.
Namun, Ke-gothic-an itu juga sanggup ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya temporer.Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai ‘fokus ke atas’ yang mempunyai nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut memperlihatkan kekhidmatan yang indah yang ‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya secara khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi gres mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi gres bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti sampai menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibuat oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida setuju bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.
Umberto Eco
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai andal semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting lantaran ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).
Eco menganggap kiprah andal semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotik yang sanggup ditawar, melainkan suatu kawasan pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar korelasi pengkodean”. Eco memakai “kode-s” untuk memperlihatkan isyarat yang digunakan sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, gejala bunyi atau grafis tidak mempunyai arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak isyarat lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman ihwal suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.
Ogden & Richard
Teori Semiotika C. K. Ogden dan I. A. Richard merupakan teori semiotika trikotomi yang dikembangkan dari Teori Saussure dan Teori Barthes yang didalamnya terdapat perkembangan korelasi antara Petanda (signified) dengan Penanda (signifier) dimana Penanda kemudian dibagi menjadi dua yaitu Peranti (Actual Function/Object Properties) dan Penanda (signifier) itu sendiri. Petanda merupakan Konotasi dari Penanda, sedangkan Peranti merupakan Denotasi dari Penanda. Pada teori ini Petanda merupakan makna, konsep, gagasan, sedang Penanda merupakan citra yang menjelaskan peranti, klarifikasi fisik obyek benda, kondisi obyek/benda, dan cenderung (tetapi tidak selalu) berupa ciri-ciri bentuk, ruang, permukaan dan volume yang mempunyai suprasegmen tertentu (irama, warna, tekstur, dsb) dan Peranti merupakan wujud obyek/benda/fungsi konkret (Christian).
0 Response to "Teori Semiotik Berdasarkan Para Ahli"
Post a Comment