Peristiwa Bersejara Pertempuran 10 November 1945
July 21, 2020
Add Comment
Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepangmendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda mengalah tanpa syarat kepada Jepang menurut Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa syarat tersebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Tiga tahun kemudian, Jepang mengalah tanpa syarat kepada sekutu sehabis dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan abnormal tersebut, Soekarnokemudian memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945
Kedatangan Tentara Inggris & Belanda
Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris tiba ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan kiprah untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang tiba juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada manajemen pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA(Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.
Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945bendera nasional Sang Saka Merah Putihdikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato(bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranyepada zaman kolonial, kini berjulukan Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada malam hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda(Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para cowok Surabaya melihatnya dan menjadi murka alasannya ialah mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak usang sehabis mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, tiba melewati kerumunan massa kemudian masuk ke Hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI beliau berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta supaya bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam negosiasi ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian cowok berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek penggalan birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari bermetamorfosis serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum hasilnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta pertolongan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Kematian Brigadir Jenderal Mallaby
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani pada tanggal 29 Oktober1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menjadikan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang cowok Indonesia yang hingga kini tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya kendaraan beroda empat tersebut terkena ledakan granat yang menjadikan mayat Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menjadikan pihak Inggris murka kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor JenderalEric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan manajemen NICA.
Perdebatan perihal pihak penyebab baku tembak

Tom Driberg, seorang Anggota Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) mewaspadai bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia memberikan bahwa insiden baku tembak ini disinyalir kuat timbul alasannya ialah kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku alasannya ialah mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg:
Related
Saya pikir ini tidak sanggup dituduh sebagai pembunuhan licik... alasannya ialah info saya sanggup secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat insiden pada ketika itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan ..."[4]
Ultimatum 10 November 1945.
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum ialah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Bung Tomo di Surabaya, salah satu pemimpin revolusioner Indonesia yang paling dihormati. Dia di kenal banyak orang yang terlibat dalam Revolusi Nasional Indonesia mewakili jiwa usaha revolusi utama Indonesia ketika itu.[5]
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan. Pasukan sekutu mendapat perlawanan dari pasukan dan milisi Indonesia.
Selain Bung Tomo terdapat pula tokoh-tokoh kuat lain dalam menggerakkan rakyat Surabaya pada masa itu, beberapa tiba dari latar belakang agama ibarat KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai/ulama) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung alot, dari hari ke hari, hingga dari ahad ke ahad lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara impulsif dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran ini mencapai waktu sekitar tiga minggu.
Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya.[2] Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 - 2000 tentara.[3] Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk melaksanakan perlawanan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.
Sumber :
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_10_November
0 Response to "Peristiwa Bersejara Pertempuran 10 November 1945"
Post a Comment