Kisah Sejarah Maulana Malik Ibrahim ( Sunan Gresik )

Kisah Sejarah Maulana Malik Ibrahim ( Sunan Gresik )

Maulana Malik Ibrahim ialah keturunan ke-11 dari Husain bin Ali. Ia disebut juga Sunan Gresik, Syekh Maghribi, atau terkadang Makhdum Ibrahim As-Samarqandy. Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal masa ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan pengecap orang Jawa terhadap As-Samarqandy. Dalam dongeng rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.



Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara gres bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan selesai kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menggoda masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat berguru agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Asal keturunan
Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.

Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang mengikuti pengucapan pengecap Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal masa 14.


Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa berdasarkan penuturan para penulis lokal, “Mulana Ibrahim, seorang Pandita populer berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah menetap bersama para Mahomedans lainnya di Desa Leran di Jang’gala“.
Namun demikian, kemungkinan pendapat yang terkuat ialah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas baris kelima goresan pena pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.


Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim.

Penyebaran agama

Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama berbagi agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior diantara para Walisongo lainnya.[9] Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, kini ialah tempat Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia kemudian mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa cuilan timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.


Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.


Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, acara pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang kini dinamakan desa Roomo, Manyar. Perdagangan membuatnya sanggup berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para aristokrat sanggup pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.


Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melaksanakan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang kini dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat berdasarkan Groeneveldt pada ketika Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang absurd termasuk dari Asia Barat.


Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan usaha menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga ketika ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya berbagi agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasi makamnya. Pada program haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.

Legenda rakyat
Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia. Maulana Malik Ibrahim Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Maulana Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama populer di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Syekh Jumadil Qubro dan kedua anaknya bahu-membahu tiba ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.

Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya berbagi agama Islam di pulau Jawa.

Maulana Malik Ibrahim dalam dongeng rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia mengajarkan cara-cara gres bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.

Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Wafat
Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat berguru agama di Leran, tahun 1419 Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Inskripsi dalam bahasa Arab yang tertulis pada makamnya ialah sebagai berikut:
Ini ialah makam almarhum seorang yang sanggup diperlukan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai tongkat sekalian para Sultan dan Wazir, siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim yang populer dengan kebaikannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan semoga menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal 822 Hijriah. Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim.

Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal masa 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan pengecap Jawa terhadap As-Samarkandy, bermetamorfosis Asmarakandi.

Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama populer di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak ialah anak dari seorang ulama Persia, berjulukan Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.

Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, kini Kamboja, selama tiga belas tahun semenjak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka ialah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.

Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, tempat yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, ialah tempat Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.

Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu ialah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara gres bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat berguru agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur

MAULANA MALIK IBRAHIM: KISAH MAKAM-MAKAM ISLAM...

Maulana Malik Ibrahim yang makamnya terdapat di Gresik, selain disebut sebagai Sunan Gresik, juga sering disebut-sebut sebagai walisanga yang pertama, yang tampaknya hanyalah didasarkan kepada tahun kewafatan yang tertulis pada nisannya, yakni 822 Hijriah, yang berarti 1419 Masehi. Dibandingkan dengan Sunan Ngampel Denta yang dianggap sebagai perintis dan pelopor, dan tahun kewafatannya diduga sekitar tahun 1467, kiranya data semacam ini mengundang sebutan bahwa Malik Ibrahim ialah wali yang pertama di antara para walisanga.
Meski hanya dugaan, legenda akan tetap beredar demi pengukuhan. Di antara banyak legenda, kita periksa saja yang ditemukan oleh Husein Djajadiningrat dalam disertasinya Tinjauan Kritis perihal Sajarah Banten (1913).

Sebetulnya yang diteliti oleh Djajadiningrat ialah perihal sifat-sifat penulisan sejarah Jawa, dengan Sajarah Banten sebagai kasusnya, tempat antara lain terdapatnya kisah-kisah walisanga, termasuk juga perihal Maulana (Djajadiningrat mengeja Molana) Malik Ibrahim yang terang disebutnya sebagai dongeng. Disebutkan dalam Sajarah Banten bahwa Malik Ibrahim ialah penyebar Islam tertua, yang kisahnya berjalin dengan kisah "saudara sepupu"- nya, Putri Suwari yang juga disebut sebagai Putri Leran.

Konon Molana Ibrahim ulama sohor dari Arab, keturunan Zeinulabidin, cicit Nabi Muhammad, menetap dengan sesama orang beriman lainnya di Leran. Lantas tiba saudara sepupu lain, raja Cermen dari tanah seberang, yang bermaksud mengislamkan Angkawijaya raja Majapahit - jikalau berhasil, bahkan ia berniat menghadiahkan putrinya menjadi istri raja Majapahit.

Ringkas cerita, bersualah kedua raja ini di perbatasan, raja Cermen yang diiringi 40 wali mem-persembahkan sebuah delima, diterima tidaknya menjadi ukuran apakah raja itu akan masuk Islam. Disebut betapa raja Majapahit merasa heran, mengapa seorang raja dari seberang mempersembahkan buah delima, seakan-akan buah semacam itu tak ada di Jawa.

Mengetahui yang dipikirkan raja Majapahit, raja Cermen pamit untuk kembali ke Leran, hanya Molana Magfur, putera Malik Ibrahim, tinggal di Majapahit. Ketika buah dibelah, di dalamnya terdapat permata, maka segeralah raja meminta biar Molana Magfur menyusul raja Cermen biar balik ke Majapahit. Raja Cermen ternyata menolak. Ketika hingga di Leran berjangkit penyakit yang membunuh banyak orang. Tiga dari lima orang saudara sepupu yang bersamanya tiba dari seberang, Jafar, Sayid Kasim, dan Sayid Ghart tewas pula karenanya - makam mereka populer dengan nama kuburan panjang. Tak ketinggalan sakit pula Putri Leran, putrinya, yang berencana ia nikahkan dengan raja Majapahit. Adapun doanya kepada Tuhan adalah, mohon kesembuhan putrinya biar bisa dinikahkan, tetapi kalau raja Majapahit tak bisa masuk Islam mohon biar usia putrinya dipendekkan saja - dan itulah yang terjadi.

Ternyata Angkawijaya menyusul ke Leran, dan ketika mendengar maut ketiga "pangeran" ia disebutkan menilai rendah kepercayaan raja Cermen, lantaran tidak bisa menghalangi maut para pangeran yang masih muda. Sampai di sini Malik Ibrahim berperan lagi, dengan memberi tanggapan bahwa ketidakpahaman raja yang menyerupai itu tentunya diakibatkan penyembahan kepada dewa-dewa, dan bukan kepada Tuhan yang hakiki. Dikisahkan betapa Angkawijaya menjadi marah dan terpaksa ditenangkan para pengikutnya. Pulanglah ia ke Majapahit dan tidak mau mengingat lagi insiden yang terjadi tahun 1313 (tentunya penanggalan Saka, meski hanya dalam dongeng) itu. Disebutkan bahwa Malik Ibrahim kemudian pindah dari Leran ke Gresik, setelah meninggal dimakamkan di gerbang timur kota pelabuhan itu.

Makam dan pembongkaran
Masih ada lagi legenda perihal Malik Ibrahim, tetapi menyerupai dongeng sinetron laga, sehingga bagi pembaca Intisari yang budiman lebih mempunyai kegunaan disajikan dongeng tadi saja, lantaran pembongkarannya akan menjelaskan beberapa hal.


Pertama, perihal dihubung-hubungkannya Malik Ibrahim dengan Putri Leran. Cerita ini terbentuk tentu lantaran terdapatnya kuburan atau makam panjang di Leran, yang tanggalnya lebih bau tanah tiga abad. Dalam penelitian J.P. Moquette, watu nisan Malik Ibrahim berasal dari Cambay di Gujarat, sedangkan Djajadiningrat menyebutkan perihal makam di Leran, bahwa "Batu-batu nisan semacam itu masih tiga masa lagi lamanya dipesan di luar Jawa, yaitu di India." Belum bisa disimpulkan apa pun dari data ini, kecuali pengenalan bahwa untuk setiap pernyataan dalam ilmu sejarah dituntut pendasaran yang kuat. Dalam hal makam panjang di Leran, bisa diikuti contohnya beberapa cuplikan dari uraian jago epigrafi (ilmu perihal prasasti) Louis-Charles Damais dalam artikel "Epigrafi Islam di Asia Tenggara" (1968) dari buku Epigrafi dan Sejarah Nusantara (1995):

"Prasasti paling bau tanah yang dikenal di Jawa berasal dari suatu zaman ketika kebanyakan orang-orang Muslim di pulau itu berasal dari luar; kemungkinan besar mereka ialah pedagang, entah mereka menetap atau hanya singgah, walaupun kemungkinan yang kedua itu terang lebih besar. Yang dimaksud di sini ialah nisan seorang gadis di kuburan Leran, beberapa kilometer dari Gresik di Jawa Timur, sebelah barat bahari pelabuhan besar Surabaya (ucapan Jawanya ialah Suroboyo).

"Oleh lantaran kami di sini tidak mungkin sanggup memerinci dan membahas hasil bacaan Moquette yang telah berjasa sebagai orang pertama yang menafsirkan prasasti itu, ataupun hasil pembacaan Ravaisse yang telah mengadakan beberapa perubahan, cukuplah kami kemukakan bahwa almarhumah berjulukan binti Maymun, sebagaimana cukup terbukti. Tanggalnya Jumat 7 Radjab 475 tahun Hijriah, atau 2 Desember 1082 M, artinya keesokan hari padanan teoretis berdasarkan Tabel-tabel. Tanggal ini telah menjadikan perdebatan, oleh lantaran 70 dan 90 gampang dikacaukan dalam goresan pena Arab yang tidak ada tanda diakritiknya dan oleh lantaran epitaf itu mengandung kesalahan; yang tertulis sesungguhnya ialah ....., jadi harus dibetulkan. Akan tetapi hari pekan yang tercantum itu beserta kemungkinan paleografinya berdasarkan kami merupakan kunci duduk kasus itu, dan padanannya dengan tarikh Julius bagi kami tidak mewaspadai lagi, menyerupai telah kami uraikan sebabnya dalam goresan pena lain.

"Tidak diketahui siapa gerangan gadis itu. Menurut dongeng setempat, ia ialah seorang putri raja, yaitu Putri Dewi Suwari atau Putri Leran. Unsur ini sudah tentu tidak tepat, lantaran sengkalan-sengkalan (kalimat yang menunjuk tahun - Red) yang bersangkutan dengan gadis itu menunjuk angka-angka tahun yang kira-kira tiga masa lebih muda, sedangkan prasasti itu sekurang-kurangnya terang mengenai angka masa dalam tahun Hijriah. Sebuah dongeng dalam teks yang disebut oleh Knebel pada tahun 1906 dan yang ketika itu milik juru kunci makam itu, mengemukakan umpamanya sebuah sengkalan yang diartikan sama dengan 1308 Saka = 1386 (-87) M. Sebuah sengkalan lain sama dengan 1313 Saka = 1391 (-92) M. Lagipula, seandainya binti Maymun itu seorang putri raja, derajatnya niscaya tertera pada nisannya, sedangkan di sini tidak. Jadi, sudah boleh dianggap niscaya bahwa pada waktu itu yang bersangkutan ialah anak orang absurd yang menetap untuk sementara waktu, tetapi yang tidak kita ketahui apa-apanya." Intisari sendiri juga belum memeriksa, bagaimana diketahui bahwa yang disebut sebagai gadis itu bukannya nenek-nenek.

Kedua, dan dengan begitu, layak diperiksa pula fakta mengenai Maulana Malik Ibrahim itu sendiri, apakah sesuai dengan dongengnya, masih memanfaatkan penelitian Louis-Charles Damais yang diterbitkan dua tahun setelah laki-laki Prancis yang menikah dengan wanita Indonesia itu meninggal pada 1966:

"Yang dikemukakan kini ialah prasasti lain, dari tempat yang sama, dari masa tiga masa setelah prasasti binti Maymun, alasannya ialah tanggalnya Senin 12 Rabi al-awwal 822 H = 10 April 1419 M (dua hari setelah padanannya yang teoretis). Prasasti itu terdapat di sebuah kuburan di Gresik yang berjulukan Gapura Wetan. Menurut suatu tradisi setempat, makam itu makam salah seorang tokoh yang dianggap termasuk penyebar agama Islam yang pertama di Jawa, yang sering dinamakan Wali Sanga. Bahwasanya beliau termasuk salah seorang penyebar utama agama Islam, agaknya patut diragukan, mengingat bahwa penyebaran agama itu di Jawa Timur telah berlangsung jauh lebih awal, akan tetapi sudah tentu tidaklah tidak mungkin bahwa tokoh itu, jikalau memang berwibawa, telah sanggup mengajak orang masuk agama Islam, sehingga hal itu masih dikenang orang. Dia juga dianggap keturunan Nabi yang tiba dari Tanah Arab.


Dan salah satu namanya berdasarkan dongeng, yang malah menganggapnya sebagai seorang paman Dewi Putri Suwari, ialah Mawlana Maghribi, "Guru dari Barat". Tetapi hal itu tidak tertulis pada nisannya. Prasasti berbahasa Arab itu, yang keadaannya masih baik sekali, tidak menyebutkan asal-usulnya, tetapi kita sanggup membaca namanya dengan jelas, yaitu Malik Ibrahim, sebuah nama yang juga masih bertahan dalam tradisi setempat."

Islamisasi: faktor Gresik
Dengan begitu menjadi terang perbedaan teks, antara yang mengemukakan fakta dengan yang berimajinasi, bahwa antara Malik Ibrahim dan Maymun (Djajadiningrat menyebutnya Fatimah binti Maimun, tapi ia mengacu epigraf M. van Berchem yang mengikuti petunjuk Snouck Hurgronje, dosen pembimbingnya yang tersohor) ternyata tak ada hubungannya sama sekali, meskipun fakta keduanya terhubungkan dalam konteks spekulasi lain, bahwa Gresik atau tepatnya Garesik yang bentuk krama-nya dalam prasasti dan naskah ditulis sebagai Tandes, ialah kota pelabuhan yang menjadi akses agama Islam di Jawa.

Kalau kita ikuti kembali hasil penelitian Graaf dan Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974), terbaca laporan dari berita-berita kuno yang tersusun sebagai berikut:

"Menurut berita-berita Cina, Gresik didirikan sebagai kota pelabuhan pada paruh kedua masa ke-14 di sebidang tanah pantai yang terlantar. Penduduk pertama ialah pelaut dan pedagang Cina. Pada masa ke-15 perkampungan gres itu mungkin telah menjadi makmur; pada tahun 1411 seorang penguasa Cina di situ telah mengirim utusan yang membawa surat-surat dan upeti ke keraton Kaisar di Cina. Pada tahun 1387 M. Gresik sudah dikenal sebagai wilayah kekuasaan maharaja Majapahit. Ini terbukti dari Piagam Karang Bogem, yang berisi ketetapan perihal kawula, budak, atau orang tebusan di keraton yang berasal dari Gresik.

"Mungkin maharaja Majapahit yang bersemayam di pedalaman Jawa Timur beranggapan bahwa daerah-daerah pantai juga termasuk daerahnya dan di situ kekuasaannya sebagai penguasa wilayah juga diakui. Hubungan antara raja pribumi dan pedagang absurd yang menetap di negara mereka yang ingin mempertahankan kekerabatan mereka dengan tanah leluhurnya, lebih-lebih dari sudut kepentingan perdagangan, sanggup diduga dengan adanya berita-berita perihal perutusan dari seberang lautan ke Cina. Seperti yang diberitakan pada permulaan masa ke-15 sehubungan dengan Gresik, perutusan yang menghadap kaisar Tiongkok (biasanya orang Cina peranakan), mengambil peranan yang penting."

Dengan membandingkan angka-angka tahun, kita bisa meraba konteks keberadaan Malik Ibrahim, yang oleh Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya 2, Jaringan Asia (1990), disebutkan, "... mungkin sekali pedagang dari Gujarat." Namun dengan pertimbangan angka tahun itu pula, kelompok makam panjang di Leran kehilangan konteks yang penting dalam pembahasan perihal penyebaran Islam di Jawa.

Menjadi misterius memang apa yang sesungguhnya terjadi sehingga orang-orang ini bermakam panjang pada masa ke-11 di Leran. Memang diyakini mereka Muslim, kemungkinan pedagang absurd yang singgah, dan tidak dipertimbangkan sama sekali sebagai penyebar Islam, meski kuburan mereka ialah yang tertua. Dalam bahasa Damais pun, "Di sini tidak ikut kami perhitungkan makam di Leran, yang dilihat dari segala segi merupakan kelompok tersendiri." Pertanyaannya, ketika Majapahit masih berkuasa penuh, apakah itu berarti Islam hanya beredar di pesisir menyerupai Gresik, itu pun di antara para pedagang asing?

Kuburan Matahari
Louis-Charles Damais menyidik setidaknya 36 berkas laporan, oleh para peneliti maupun pejabat pemerintah Hindia Belanda, untuk kesudahannya hingga kepada kesimpulan bahwa para jago kepurbakalaan Belanda telah melewatkan fakta penting di depan hidung mereka, betapa pada puncak kejayaan Majapahit, yakni masa pemerintahan Hayam Wuruk, sebagian anggota keluarga kerajaan telah memeluk agama Islam, menyerupai dibuktikannya melalui pembahasan epigrafis tujuh makam di Tralaya.
Melalui berkas "Makam Islam di Tralaya" (1955), kita bisa mengikuti penelusuran Damais atas banyak sekali data menyangkut tujuh makam yang dituliskannya," ... disebutkan pertama kali 75 tahun lalu; meskipun demikian nilai purbakala dan sejarahnya selalu diabaikan."

Secara ringkas, yang terutama diabaikan ialah fakta terdapatnya goresan pena Arab pada nisan-nisan tersebut, lantaran selalu dianggap sebagai embel-embel gres pada nisan usang yang berangka tahun Saka. Dengan sangat rumit, bahkan disebut menyerupai perhitungan matematis, Damais kesudahannya bisa menunjukan bahwa pada kelompok makam yang oleh penduduk disebut Kuburan Srengenge tempat dimakamkannya Pangeran Surya, boleh diyakini terdapatnya para anggota kerajaan Majapahit yang telah memeluk Islam, dan dimakamkan masing-masing tahun 1376, 1380, 1418, 1407, 1427, 1467, 1475, 1467, 1469, dan yang agak meloncat, yakni 1611.

Mengapa data angka maut lebih dari tujuh? Karena Damais berhasil juga menemukan tumpang tindihnya nisan-nisan tersebut, bahwa yang tampaknya di tempat kaki ternyata untuk kepala juga misalnya, sehingga ia beropini sesungguhnya terdapat sepuluh makam di sana. Perhatikan pula bahwa angka tahun yang tertua hanya sebelas tahun lebih muda dari Nagarakrtagama yang ditulis Prapanca.

Sayang sekali tidak cukup ruang untuk menceritakan kembali bagaimana mengagumkannya Damais menguak misteri, bahkan ketika sebagian nisan berprasasti itu disebutnya sudah hilang, sehingga ia menafsir hanya dari yang tersisa maupun dari foto-foto yang diambil para peneliti dan petugas dinas purbakala Hindia Belanda, yang telah mencatat terdapatnya kuburan tersebut se-jak masa ke-19. Dengan meneliti ke-36 berkas ilmiah maupun laporan dinas atas kelompok makam tersebut, Damais menemukan contohnya dalam konteks makam ke-9, "Kami tidak melihat nisan itu disebutkan di mana pun, alasannya ialah para ilmuwan, yang telah meneliti situs Tralaya, tidak pernah memperlihatkan minat sedikit pun pada prasasti Arab. Padahal teks pendek itu sangat penting lantaran memperlihatkan bahwa di samping angka tahun berangka Jawa kuno, sekurang-kurangnya ada satu yang bertahun Hijriah dan berasal dari periode yang sama."

Bahwa kuburan itu kuburan aristokrat Majapahit, tertandai dari apa yang disebut medalion yang dilingkari "kalangan bersinar dari Majapahit". Suatu tanda yang rupanya telah mengarahkan penyebutan Kuburan Srengenge (Matahari) atau Pangeran Surya itu. Juga dari lokasinya yang begitu bersahabat dengan sentra pemerintahan di Trowulan. Menarik sekali analisis Damais atas kesalahan tulis kalimah syahadat pada salah satu nisan itu, yang terarah kepada tukang pahatnya, bahwa mungkin saja pengetahuannya sangat kurang atau nihil, bisa mengucapkan syahadat tapi tidak mengetahui hukum ejaan bahasa Arab, dan mungkin pula salah menafsirkan tanda dari sebuah teladan model bahasa Arab tertulis.

Terutama sekali Damais mengoreksi kesalahan teknis maupun keluputan tafsir para ilmuwan pendahulunya, yang tampak sulit melepaskan diri dari stigma bahwa kejayaan Majapahit memustahilkan terdapatnya pemeluk Islam dari kalangan penduduk asli. Kesimpulan Damais memang sebaliknya, "Secara pribadi kami tidak sanggup berbuat lain kecuali menganggap angka tahun pada nisan-nisan Tralaya sebagai bukti keberadaan orang Islam, yang mungkin sekali berbangsa Jawa, di ibu kota Majapahit, semenjak tahun-tahun selesai masa ke-13 Saka. Jadi, pada ekonomis kami tidak sanggup dikatakan, menyerupai halnya Krom, bahwa situs itu 'dilihat dari dirinya sendiri tidak mempunyai arti arkeologis'. Justru sebaliknya, dalam suatu kajian sistematis mengenai makam-makam Islam tertua di Jawa - yang masih harus dilakukan - situs itu tidak pelak lagi akan meng-ambil tempat yang penting."

Dengan demikian, dari ziarah pustaka edisi ini pembaca Intisari terhadapkan bukan saja dengan Malik Ibrahim, yang angka pada nisannya (1419) melahirkan dongeng dirinya sebagai "walisanga pertama"; tetapi juga dengan kelompok makam panjang Leran yang jauh lebih bau tanah (1082) dan diduga sebagai makam orang absurd yang sesungguhnya hanya singgah; maupun dengan makam Islam di Tralaya yang juga sebagian besar lebih bau tanah (1376/1611) dari zaman Majapahit, yang kali ini diduga berpengaruh ialah makam orang Jawa.

Demikianlah ilmu-ilmu sejarah menyingkap mitos, menyerupai yang sudah semestinya menjadi kiprah ilmu pengetahuan.


1.Kesimpulan.
Secara umum sanggup disebutkan bahwa para pembawa agama Islam pertama kali ke wilayah Nusantara-Indonesia ialah para pedagang dan Muballigh dari Arab, Persia dan India. Mereka mengunjungi daerah-daerah pesisir nusantara yang berafiliasi pribadi dengan bandar-bandar perdagangan internasional. Aceh dengan kerajaan Perlak dan Pasai telah menjadi penyangga penyebaran Islam yang utama ke wilayah lainnya di Nusantara. Sebab ditemukan laporan bahwa hampir seluruh ulama yang berbagi Islam ke tempat lain ialah berasal atau paling tidak berguru ke kepada ulama yang ada di kedua kerajaan tersebut.

Setidaknya hingga pertengahan masa ke 15, umat Islam bukan saja telah menyebar luas keseluruh kepuluan Indonesia, bahkan secara sosial telah muncul menjadi distributor perubahan sejarah yang penting. DR. Kuntowijoyo menyebutkan bahwa daya pikat utama agama gres ini ialah pada gagasan persamaannya, sebuah gagasan yang sangat menarik bagi kelas saudagar yang sedang tumbuh, dan yang tidak ditemukan dalam konsep stratifikasi sosial Hindu. Islam dengan demikian menyediakan “cetak biru untuk organisasi politico-ekonomi”, dan dengan ini sedang dipersiapkan jalan bagi terjadinya proses-proses perubahan struktural gres dari system agraris-patrimonial kearah persamaan dan pertumbuhan ekonomi atau “kapitalisme-politik”.

Dari cetak biru politico-ekonomi inilah, Islam menyentuh kalangan menengah pedagang pribumi memeluk agama Islam untuk berpartisipasi dalam komunitas moral perdagangan Muslim Internasional. Melalui Malaka yang semenjak ahir masa ke 14 telah berkembang menjadi “entrepot-state” (Negara penyalur perdagangan lintas laut).

Dengan demikian kekerabatan perdagangan antar pulau di wilayah Nusantara semakin terbuka. Dan itu berarti memperluas jangkauan dakwah dan penyebaran Agama Islam. Para ulama – yang nota bene ialah para Sayid keturunan Rasulullah – yang sebagiannya menjadi Sultan atau paling tidak menjadi anggota keluarga kerajaan lantaran perkawinan dengan kerabat para raja menajdi leluasa dalam berbagi Islam. Hal inilah yang mempercepat proses islamisasi di wilayah kepulauan Nusantara-Indonesia.
Tampilkan Komentar
Sembunyikan Komentar

0 Response to "Kisah Sejarah Maulana Malik Ibrahim ( Sunan Gresik )"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel