Amalan Kiai Salman Dahlawi Untuk Meredakan Hujan Lebat
July 24, 2020
Add Comment
Ketika gerakan reformasi mulai bergulir, ditandai dengan lengser-nya Presiden Soeharto, pergolakan dan kerusuhan merebak dimana-mana. Dan, dikala situasi semakin memanas, Nahdlatul Ulama merasa perlu mengajak seluruh warga nahdliyin untuk menggelar istighasah, berdoa bersama memohon derma Allah SWT.
Ketika itu warga nahdliyin di Klaten, Jawa Tengah, tak mau ketinggalan, menggelar istighasah di Masjid Raudlatush Shalihin. Malam itu ribuan kaum muslimin berkumpul di masjid terbesar di Klaten itu, yang terletak di tengah perkampungan industri cor logam Batur.
Ketika istighasah akan dimulai, tiba-tiba turun hujan lebat, sehingga para jamaah kalang kabut. Saat itulah tampil seorang kiai. Melalui pengeras bunyi ia mengajak seluruh jamaah membaca surah Al-Fil sebelas kali. Setiap kali hingga pada kata tarmihim, dibaca pula sebelas kali. Meski gelisah alasannya ialah mulai kebasahan, dengan serempak para jamaah membaca surah Al-Fil bersama-sama.
Ajaib! Begitu pembacaan surah itu genap sebelas kali, hujan pun mulai reda. Bahkan tak usang kemudian berhenti sama sekali. Dan rembulan kembali muncul jelas benderang. Para jamaah berdecak kagum dan terheran-heran. Sebagian berbisik, ”Iki merga karomahe Kiai.” (Ini karena karomah Kiai).
Para jamaah yakin, meski semua bencana tersebut tak lepas dari kehendak dan izin Allah, kemujaraban doa tidak hanya alasannya ialah bacaannya, tapi juga yang lebih penting siapa yang membaca. Kiai yang memimpin bacaan Surah Al-Fil itu tiada lain KH. Muhammad Salman Dahlawi, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Manshuriyah, Popongan, pesantren tertua di Klaten.
Kiai kelahiran 1936 ini juga dikenal sebagai guru musryid Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah, yang ratusan ribu muridnya tersebar di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan beberapa tempat di Sumatra.
Kiai Salman ialah anak lelaki tertua KH.M. Mukri bin KH. Kafrawi, dan cucu lelaki tertua KH. M. Manshur, pendiri pesantren yang kini diasuhnya. Kiai Manshur ialah putra Syekh Muhammad Hadi Girikusumo, salah seorang khalifah Syekh Sulaiman Zuhdi, mursyid atau guru pembimbing Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyyah di Mekah.
Sebagai cucu lelaki tertua, Salman memang dipersiapkan oleh kakeknya, Kiai Manshur, yang di kalangan pesantren Jawa Tengah termasyhur sebagai aulia, untuk melanjutkan kiprah sebagai pengasuh pesantren sekaligus Mursyid Thariqah Naqsyabandiyah. Pada 1953, dikala Salman berusia 19 tahun, sang kakek, yang wafat dua tahun kemudian, membaiatnya sebagai Mursyid.
Sorogan dan Bandongan
Untuk menambah bekal keilmuan, Gus Salman nyantri ke pesantren pimpinan KH. Khozin di Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur, selama kurang lebih empat tahun, 1956-1960. Tapi, sebulan sekali ia masih sempat nyambangi pesantren yang diasuhnya di Popongan, yang selama ia mondok di Kediri diasuh oleh ayahnya. Sebelum menjadi Mursyid, Salman menimba ilmu di Madrasah Mamba’ul Ulum, Solo, dan beberapa kali nyantri pasan, pengajian Ramadan, kepada KH. Ahmad Dalhar, Watu Congol, Magelang, Jawa Tengah.
Sejak 21 Juni 1980, Pesantren Popongan berganti nama menjadi Pondok Pesantren Al-Manshur, untuk mengenang pendirinya, bersamaan pelantikan yayasannya. Seperti di pesantren lain, semula santri yang tiba hanya untuk nyantri dan ngaji dengan sistem sorogan dan bandongan –sistem pengajian tradisional- di pesantren. Baru pada 1963 didirikan beberapa forum pendidikan formal, mulai dari Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Diniyah, Madrasah Aliyah, dan terakhir TK Al-Manshur (1980).
Saat ini Pesantren Al-Manshur terdiri dari tiga bagian: pesantren putra, pesantren putri, dan pesantren sepuh, yang diikuti sejumlah orang bau tanah yang menjalani suluk, yaitu laris atau amalan tarekat. Berbagai acara ditata ulang. Program tahfidzul Qur’an, menghafal Al-Qur’an, misalnya, ditangani oleh KH. Ahmad Jablawi, abang misan Kiai Salman, sekaligus ia mengasuh santri putri. Sementara pengelolaan madrasah formal diserahkan kepada KH. Nasrun Minallah, adik Kiai Salman. Kiai Salman sendiri mengasuh santri putra dan santri sepuh.
Untuk mengantisipasi perkembangan zaman, kiai yang dikaruniai tiga putra dan lima putri dari istri pertama Mu’ainatun Sholihah ini juga telah menyiapkan proses kaderisasi dan regenerasi. Dan semenjak 2001 ia menikahi istri kedua, Siti Aliyah, sepeninggal istri pertama, yang wafat pada 2000. Sejak itu ia juga memulai proses regenerasi dengan melibatkan putra-putrinya dalam pengelolaan pesantren.
Belakangan, seiring dengan usianya yang kian lanjut, Kiai Salman menyiapkan kader pribadi, baik sebagai pengasuh pesantren maupun mursyid thariqah, yaitu Gus Multazam, 35 tahun. Sebab, belakangan kondisi fisik kiai yang tawadhu’ ini memang agak lemah. Maka Gus Multazam, putra ketujuh yang lahir di Mekah inilah, yang tampil sebagai badal, pengganti, dalam beberapa pengajian. Misalnya dalam pengajian fikih di hadapan para santri sepuh setiap hari Selasa.
Figur Kiai Salman amat bersahaja, ramah, dan tawadhu’. Pada bulan bulan berkat 1425 H lalu, ia genap berusia 70 tahun. Ketika berbicara dengan para tamu, Kiai Salman lebih sering menundukkan kepala, sebagai wujud perilaku rendah hati. Tak jarang, bahkan ia sendiri yang membawa baki berisi air minum dari dalam rumah untuk disuguhkan kepada para tamunya.
Seperti halnya para ulama, semakin sepuh justru semakin banyak yang sowan memohon doa restu atau nasihat. Demikian juga dengan Kiai Salman, kian hari kian banyak kaum muslimin dari banyak sekali daerah, dan banyak sekali kalangan, yang sowan kepadanya. Baik untuk konsultasi pribadi, bertanya duduk masalah agama, maupun sekadar silaturahmi minta doa restu. Bagaikan pohon, semakin bau tanah semakin rindang, semakin banyak pula orang bernaung dari sengatan mentari di bawah rimbunan dedaunannya.
Oleh: KH.M. Nawawi Syafi’i, Batur, Ceper, Klaten, Jawa Tengah
Sumber: bangkitmedia.com
0 Response to "Amalan Kiai Salman Dahlawi Untuk Meredakan Hujan Lebat"
Post a Comment